Kembali
ku duduk untuk menikamati secangkir teh hangat dan mendengarkan obrolan kedua
orang tuaku dengan seseorang dihadapannya. Suasana hening terasa menghiasi
seisi rumah, dia adalah pemilik pondok pesantren yangsedang ku kunjungi kali
ini. Tanpa basa basi ia menylakan batang korek api, menghisapnya dengan nikmat,
merasakan kekhusyuan setiap hembusan asa rokok yang keluar dan masuk saluran
pernapasannya. Tubuhnya terlihat sangat sehat, tak seperti perokok pada
umumnya. Dia adalah santri bapak dulunya.
Selesai
berbincang dengan ditemani lemang atau bisa diistilahkan nasi ketan santan yang
dibakar dalam bambu. Aku beserta keluarga dan dia beserta keluarganya pergi
menuju pantai sawarna. Salah satu pantai yang dinobatkan sebagai salah satu
pantai yang favorit bagi para penduduk banten dan sekitar. Berdasarkan hasil
survei via google.com, aku dan ketiga saudara menyepakati untuk memilih pantai
sawarna sebagai tempat refreshing kali ini.
Perjalanan
yang ditempuh lumayan jauh, terbukti dari tidur saya yang berulang kali.
Sebelum sampai di pantai sawarna, kami mampir sejenak untuk memenuhi panggilan
perut di pantai pasir putih (pas.put). Sepertinya nama pantai ini sudah terlalu
umum, saya kira seluruh pantai pasirnya berwarna kekuningan tidak putih banget.
Gazebo kecil menghadap kedepan bentangan laut biru yang luas berjejer rapi
mengelilingi sisi pantai. Ibu duduk paling pertama diantara yang lainnya,
meneropong jauh kedepan, tersenyum lebar atas keindihan yang diberi Allah
secara cuma-cuma ini.
Setengah
jam menunggu, tiga ikan laut super besar terhidang sudah. Ditambah pelengkap
sambel tomt dan sambel kecap serta karedok yang aduhai pedaasnya. Ikan yang
dibakar adalah jenis ikan kerapu dan kakap merah, bapaklah yang hafal betul
macam-macam ikan. Seluruh ikan terbakar sempurna seluruh sisi, sesekali aku
mencicipi dari satu ikan ke ikan yang lain. Memang terasa sedikit berbeda,
suatu kuasaNya menciptakan sebuah makhluk dalam satu tempat (laut asin) namun
memiliki berbagai rasa yang khas.
Perjalananpun
dilanjutkan, ternyata efek samping setelah memakan ikan laut ditambah mungkin
terlalu berlebih berlabuh di kedua mata saya. Rasa kantuk segera menyergap, aku
terlelap sangat dalam walau guncangan mobil cukup terasa betul. Setelahnya aku
terbangun, tak terasa langkah kaki akan segera menapak pantai sawarna. Di
ebelah kanan terlihat suatu kawasan industri semen yang cukup terkenal.
Berbagai alat berat menghiasi bukit dan pegunungan, warna putih kekuningan dan
debu yang menyelimuti kawasan tersbut.
Memasuki
daerah pantai sawarna, mata akan dihibur dengan hijaunya alam. Mobil melaju
cepat, tak sabar melihat keindahan pantai yang katanya memiliki berbagai macam
warna. Hari itu tepat hari minggu dan musim libur lebaran, lengkap sudah
kepadatan kerumunan orang-orang yang sama-sama ingin menjajal pantai sawarna.
Mobilpun sampai di lapangan parkir yang hampir berubah seperti tempat bazar
mobil. Sungguh penuh dengan anak-anak adam.
Menariknya,
sebelum mencapai pantai, para pengunjung harus menyebrangi sungai dengan
menggunakan.... (saya lupa namanya) pokoknya yang terlihat seperti di
gambar.Woww ini sesuatu sekali, rasanya deg.. deg.. deg..takut tenggelem.
Sampai- sampai ibu lebih memilih untuk duduk saja, takut jatuh sepertinya
hahaa. Sebenarnya ada jembatan penyebrangan, tapi terlalu ramai oleh para
pengendara motor. Sayang, tempat wisata seramai ini tak seindah fasilitas yang
dimilikinya.
Kami
berjalan langkah demi langkah untuk mencapai villa yang sudah dipesan oleh
santrinya bapak. Walau kaki terasa begitu lelah, namun jiwa terus terpicu untuk
terus melangkah demi menyaksikan keindahan pantai sawarna. Sesampainya di
villa, perjuangan belum berakhir. Bila ingin melihat pantai sawarna cukuplah
melangkah kedepan villa. Namun bila kau penasaran dengan tanjung lyar,
siap-siap saja merasakan lelahnya berjalan, tapi tenang banyak tukang ojek yang
siap untuk mengantarkan adek pulang pergi ke tanjung layar.
Dua
batu besar menjulang berdiri gagah dihadapanku, pantai penuh dengan manusia dan
sampah. Sambil mencicipi bakso ikan dan rujak bebek yang parkir didepan pantai
bersama dede, aku tertawa mengasihani adik paling kecil “muna”, dia terlalu
lelah berjalan menuju tempat ini. Namun keindahannya tak terbayarkan dengan
rasa lelah yang dia rasakan. Memang perjalanan yang harus ditempuh lumayan
menguras energi, belum lagi dihadapkan dengan geng-geng ojek dan para
pengendara motor lainnya yng berjalan berbarengan dengan pejalan kaki. Kamipun
menjempret momen kebahagian lengkap dengan kesedihan raut wajah mona.
Mona
sudah tidak tahan untuk pergi dari tanjung layar, ia ingin pantai sawarnanya.
Oke, kamipun sebagai kakak terbaiknya menuruti apa maunya. Kembali balik arah
ke pantai yang banyak orang dan bisa direnangi itu. Entah apa sebutannya,
pokoknya sederetan pantai tersebut disebut pantai sawarna berdasarkan penuturan
warga asli disana. Berdasarkan penilaian saya, sebagi serang traveliing belum
sejati pantainya kotor, banyak sampah dan lebih bisa dinikmati bila tidak saat
musim liburan. Jalan menuju sananya juga jauh sekali. Masih banyak pantai asri
yang lebih aduhai. Percaya. Tapi saya gatau lagi kalau pantai sawarna yang
tersajidi mbah google itu berbeda dengan yang saya kunjungi. Cukup sekian
liburan kali ini. Jangan terlena dengan gambargambar yang terpampang di google.
Itu hanya fotografer semata, terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Seperti
yang saya rasakan. Oh sawarna, aku mengunjungimu tidak pada saat yang tepat.