Minggu, 17 Juli 2016

Mencari Pantai Sawarna dan Tanjung Layar



                Kembali ku duduk untuk menikamati secangkir teh hangat dan mendengarkan obrolan kedua orang tuaku dengan seseorang dihadapannya. Suasana hening terasa menghiasi seisi rumah, dia adalah pemilik pondok pesantren yangsedang ku kunjungi kali ini. Tanpa basa basi ia menylakan batang korek api, menghisapnya dengan nikmat, merasakan kekhusyuan setiap hembusan asa rokok yang keluar dan masuk saluran pernapasannya. Tubuhnya terlihat sangat sehat, tak seperti perokok pada umumnya. Dia adalah santri bapak dulunya.
                Selesai berbincang dengan ditemani lemang atau bisa diistilahkan nasi ketan santan yang dibakar dalam bambu. Aku beserta keluarga dan dia beserta keluarganya pergi menuju pantai sawarna. Salah satu pantai yang dinobatkan sebagai salah satu pantai yang favorit bagi para penduduk banten dan sekitar. Berdasarkan hasil survei via google.com, aku dan ketiga saudara menyepakati untuk memilih pantai sawarna sebagai tempat refreshing kali ini.
                Perjalanan yang ditempuh lumayan jauh, terbukti dari tidur saya yang berulang kali. Sebelum sampai di pantai sawarna, kami mampir sejenak untuk memenuhi panggilan perut di pantai pasir putih (pas.put). Sepertinya nama pantai ini sudah terlalu umum, saya kira seluruh pantai pasirnya berwarna kekuningan tidak putih banget. Gazebo kecil menghadap kedepan bentangan laut biru yang luas berjejer rapi mengelilingi sisi pantai. Ibu duduk paling pertama diantara yang lainnya, meneropong jauh kedepan, tersenyum lebar atas keindihan yang diberi Allah secara cuma-cuma ini. 

                Setengah jam menunggu, tiga ikan laut super besar terhidang sudah. Ditambah pelengkap sambel tomt dan sambel kecap serta karedok yang aduhai pedaasnya. Ikan yang dibakar adalah jenis ikan kerapu dan kakap merah, bapaklah yang hafal betul macam-macam ikan. Seluruh ikan terbakar sempurna seluruh sisi, sesekali aku mencicipi dari satu ikan ke ikan yang lain. Memang terasa sedikit berbeda, suatu kuasaNya menciptakan sebuah makhluk dalam satu tempat (laut asin) namun memiliki berbagai rasa yang khas. 

                Perjalananpun dilanjutkan, ternyata efek samping setelah memakan ikan laut ditambah mungkin terlalu berlebih berlabuh di kedua mata saya. Rasa kantuk segera menyergap, aku terlelap sangat dalam walau guncangan mobil cukup terasa betul. Setelahnya aku terbangun, tak terasa langkah kaki akan segera menapak pantai sawarna. Di ebelah kanan terlihat suatu kawasan industri semen yang cukup terkenal. Berbagai alat berat menghiasi bukit dan pegunungan, warna putih kekuningan dan debu yang menyelimuti kawasan tersbut.
                Memasuki daerah pantai sawarna, mata akan dihibur dengan hijaunya alam. Mobil melaju cepat, tak sabar melihat keindahan pantai yang katanya memiliki berbagai macam warna. Hari itu tepat hari minggu dan musim libur lebaran, lengkap sudah kepadatan kerumunan orang-orang yang sama-sama ingin menjajal pantai sawarna. Mobilpun sampai di lapangan parkir yang hampir berubah seperti tempat bazar mobil. Sungguh penuh dengan anak-anak adam.
                Menariknya, sebelum mencapai pantai, para pengunjung harus menyebrangi sungai dengan menggunakan.... (saya lupa namanya) pokoknya yang terlihat seperti di gambar.Woww ini sesuatu sekali, rasanya deg.. deg.. deg..takut tenggelem. Sampai- sampai ibu lebih memilih untuk duduk saja, takut jatuh sepertinya hahaa. Sebenarnya ada jembatan penyebrangan, tapi terlalu ramai oleh para pengendara motor. Sayang, tempat wisata seramai ini tak seindah fasilitas yang dimilikinya. 



                Kami berjalan langkah demi langkah untuk mencapai villa yang sudah dipesan oleh santrinya bapak. Walau kaki terasa begitu lelah, namun jiwa terus terpicu untuk terus melangkah demi menyaksikan keindahan pantai sawarna. Sesampainya di villa, perjuangan belum berakhir. Bila ingin melihat pantai sawarna cukuplah melangkah kedepan villa. Namun bila kau penasaran dengan tanjung lyar, siap-siap saja merasakan lelahnya berjalan, tapi tenang banyak tukang ojek yang siap untuk mengantarkan adek pulang pergi ke tanjung layar. 

                Dua batu besar menjulang berdiri gagah dihadapanku, pantai penuh dengan manusia dan sampah. Sambil mencicipi bakso ikan dan rujak bebek yang parkir didepan pantai bersama dede, aku tertawa mengasihani adik paling kecil “muna”, dia terlalu lelah berjalan menuju tempat ini. Namun keindahannya tak terbayarkan dengan rasa lelah yang dia rasakan. Memang perjalanan yang harus ditempuh lumayan menguras energi, belum lagi dihadapkan dengan geng-geng ojek dan para pengendara motor lainnya yng berjalan berbarengan dengan pejalan kaki. Kamipun menjempret momen kebahagian lengkap dengan kesedihan raut wajah mona. 




                Mona sudah tidak tahan untuk pergi dari tanjung layar, ia ingin pantai sawarnanya. Oke, kamipun sebagai kakak terbaiknya menuruti apa maunya. Kembali balik arah ke pantai yang banyak orang dan bisa direnangi itu. Entah apa sebutannya, pokoknya sederetan pantai tersebut disebut pantai sawarna berdasarkan penuturan warga asli disana. Berdasarkan penilaian saya, sebagi serang traveliing belum sejati pantainya kotor, banyak sampah dan lebih bisa dinikmati bila tidak saat musim liburan. Jalan menuju sananya juga jauh sekali. Masih banyak pantai asri yang lebih aduhai. Percaya. Tapi saya gatau lagi kalau pantai sawarna yang tersajidi mbah google itu berbeda dengan yang saya kunjungi. Cukup sekian liburan kali ini. Jangan terlena dengan gambargambar yang terpampang di google. Itu hanya fotografer semata, terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Seperti yang saya rasakan. Oh sawarna, aku mengunjungimu tidak pada saat yang tepat. 


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Bingikisan Pengalaman