Perjuangan Hidup Janitra
Suara
sakaratulmaut itu masih terbayang jelas dalam ingatanku, sekarang aku telah
menjadi anak piatu. Sudah hampir sebulan kepergiannya, kepergian seorang yang
sangat aku cintai, seorang yang selalu menyayangi dan menjagaku sedari aku
dilahirkan ke dunia. Ibu.
“Ibu,
aku rindu engkau.. kaulah yang selalu menemani disetiap jejak langkahku
menuntun ilmu ke sekolah, namun sekarang aku hanya seorang diri menelusuri
lebatnya pepohonan hutan ini” bisikku kepada dedaunan yang bergantian jatuh
didepan mataku. Nampaknya matahari sudah menampakkan wajahnya, dengan begitu gagah ia menyinari hamparan
dataran dunia yang amat luas.
Aku
bergegas mempercepat setiap langkah kakiku supaya tidak telat mengikuti upacara
pagi hari ini, itulah kelebihanku, aku kuat berjalan sejauh apapun jaraknya
yang penting masih ada energi yang tersimpan dalam tubuhku. Jarum jam tepat
menunjukkan pukul 06.45, mataku tertuju pada jam dinding yang berada di depan
gerbang sekolah SMA tervaforit di desa kadukandel, desa yang penuh dengan warna
warni hasil pertanian. Sampailah aku pada barisan upacara paling akhir, karena
postur tubuhku yang pendek, itulah sebabnya mengapa sejak aku sekolah di SD
hingga SMA saat ini, posisi barisanku selalu berada diakhir.
Proses
belajar tak ada yang membuatku antusias untuk mengikutinya, entah virus apa
yang menyerang semangatku. Bapak dan ibu guru silih berganti masuk dan keluar
kelas, menyampaikan berbagai materi persiapan ujian nasional tahun ini. Mataku
sayup-sayup seolah kefokusaku sudah berada di ambang batas. “Brekkk!!!”
kepalaku menatap bangku, sontak seisi kelas menertawaiku. Aku malu bukan main,
segera aku izin bu guru untuk pergi ke kamar mandi, sekedar mencuci muka agar
terasa lebih segar.
Diluar
kelas semilir angin terasa sangat nikmat, seolah hembusannya menghilangkan
beban pikiran yang tertabung dalam pikiranku. Belum sampai di kamar mandi,
tiba-tiba langkahku terhenti. Lagi-lagi aku membayangkan ibu, kalau saja ia
masih ada pasti sekarang ibu sedang melambaikan tangannya seraya memberikan
semangat kepadaku dari gubuk yang berada dipojok halaman sekolah. Gubuk lusuh
itu merupakan tempat dimana ia bisa menjual berbagai jajanannya.
Tak
terasa wajahku basah karena tetes mata yang tiba-tiba turun dari kedua bola
mataku. “Kunaon maneh tra?, kok nangis”
ucap seorang teman yang tiba-tiba menegurku didalam lamunan yang amat dalam.
Sontak aku mengusap wajahku dengan kerudung seraya menjawab “oh teu nanaon eis” sambil memalingkan
diri menuju pintu kamar mandi.
Tangisanku
pun pecah didalam kamar mandi, hatiku berkecamuk kepada tuhan mengapa aku tidak
pernah merasakan kebahagian seperti teman-temanku. Seoalah tak ada beban yang
harus mereka pikul, berbeda dengan diriku yang harus memegang peranan ibu yang
sudah tiada lagi. Mengapa dimasa muda ku, masa yang seharusnya aku habiskan
dengan penuh rasa kebahagian layaknya anak muda lainnya justru aku harus
menghabiskannya dengan berbagai lembaran penderitaan yang silih berganti. Kalau
aku bisa memilih, mungkin aku memilih untuk mati bersama ibu. Aku tak sanggup
menahan semua penderitaan ini.
Sepulang
sekolah selaluku sempatkan diri untuk mengunjungi tempat bapak bekerja,
panasnya terik matahari dan pekatnya polusi udara di siang hari ini tak
menyurutkan semangat bapak untuk menawarkan berbagai makanan dan minuman dingin
kepada para pengguna jalan. “Bapak!!!” panggilku dari kejauhan, kemudian ia
menoleh seraya memberikan lambaian tangan dan senyuman tulusnya. Lantas ia
segera mendekatiku, wajahnya penuh dengan keringat, sesekali ia mengusap
wajahnya dengan handuk kecil yang sengaja ia taruh dipundaknya. “Gimana nak
tadi sekolahnya?, lancar?” tanya bapak kepadaku. “La..la..lanncar pak” jawabku
terbatah-batah. “Alhamdulillah, Janitra
mah anak bapak anu paling pinter pokoknamah” senyumnya merekah memandangi
wajahku yang sebenarnya aku tidak bisa serius belajar selama di sekolah tadi.
Aku tersenyum balik memandangi wajahnya kemudian memeluknya dengan dekapan yang
amat kuat karena hanya ia satu satunya malaikat yang aku miliki di dunia ini,
tak ada seorang pun yang bisa menggantikan perhatian dan kasih sayangnya
kepadaku.
Seperti
hari-hari biasanya bapak memberikanku sebagian uang hasil jualannya kepadaku,
uang ini nantinya akan aku belikan lauk dan sayur untuk makan siang dan makan
malam kami. Bapak merogohkan tangannya ke saku kaosnya dan memberiku uang
sebesar 35.000 rupiah. “Alhamdulillah... laris ya pak hari ini?” tanyaku kepada
bapak. “Ia nak, alhamdulillah semua ini berkat doa anak-anak bapak” jawabnya.
Aku tersenyum memandangi bola mata wajahnya yang penuh dengan sinar ketulusan
seorang bapak. Aku mencintaimu pak, desir hatiku menatap wajahnya. Panasnya
terik matahari sudah semakin menyiksa kulit wajahku, rasa laparpun mulai
terasa. Bergegas aku pamit pulang ke rumah kepada bapak, ia tidak bisa pulang
ke rumah dahulu karena masih harus menjajakan dagangannya hingga matahari
hampir terbenam.Uang 35.000 yang telah diberikan bapak, aku belanjakan
sayur-sayuran serta lauk pauk di warung sebelah rumah. Untung saja masih ada
beras yang tersisa di rumah, setidaknya cukup untuk kami sekeluarga makan siang
dan makan malam hari ini.
Sesampainya
di rumah, ternyata ke empat adikku telah menungguku sedari tadi. Mereka
mengeluh “teh lapar..” ucap adikku
yang paling kecil. “Ia abis ini teteh masakin, sabar dulu ya tiar” ucapku. Mempunyai
empat adik yang semuanya cowok merupakan tantangan tersendiri bagiku. Tiar yang
masih berumur lima tahun terkadang membuatku kesal oleh segala tingkahnya. Jika
aku dan ketiga adikku sekolah dan bapak bekerja, selalu aku titipkan dia kepada
tetangga dekat rumah yang sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri.
Makan
malam pun berjalan sangat menyenangkan, ketiga adik-adikku yaitu Qorib, Sabil,
Afan mencairkan suasana malam ini. Mereka berulang kali saut menyaut
menceritakan kejadian lucu selama di sekolah tadi pagi. Kamipun tertawa
mendengarkan kebanyolan cerita mereka
masing-masing. “Si saepul diem-diem dipojokan kelas, aku kira dia lagi sakit
ehh.. ternyata dia berak di celana hahaaa” cerita Sabil adikku yang sedang
duduk dibangku sekolah dasar kelas lima. Tawa kamipun segera menggelegar
memenuhi ruang sempit berbentuk kubus beratapkan rotan bambu ini. Bapak, yang
hanya tersenyum mendengarkan perbincangan kami, matanya yang telah tua
memandangi lamat-lamat anaknya satu persatu.
“Janitra,
kemari nak” ucap bapak kepadaku yang sedang serius mempelajari berbagai materi
ujian nasional karena seminggu lagi akan dilaksanakan. “Iya, pak” jawabku
seraya mendekatinya yang sedang duduk seorang diri diluar rumah ditengah
sunyinya malam desa kadukandel. “Nak, jadi orang yang benar ya.. kejar
cita-citamu setinggi mungkin, kau memiliki bakat menulis lanjutkan itu. Jadilah
orang yang memliki derajat tinggi dimata Allah dan orang lain sesuai dengan
arti namamu, jagalah adik-adikmu jika bapak tak sanggup lagi menyekolahkan
anak-anak bapak hingga SMA. “Iya pak.. nitra akan belajar dengan
sungguh-sungguh agar impian-impian yang telah lama bergelantungan itu, segera
berada dalam genggaman Nitra, bapak jangan lupa untuk mendoakan nitra ya, supaya
diberikan kelancaran ketika ujian nasional.” Jawabku kepada bapak. Seketika itu
bapak memelukku erat-erat, seoalah matanya meneteskan air mata dibalik
punggungku tetapi ia berusaha menutupi tangisan itu, hanya satu kata yang
terucap dari mulutnya selama memelukku. “iya” ucap bapak, satu kata yang
berarti amat dalam bagiku.
Aku
senang akhirnya tinggal tersisa satu hari lagi pelaksanaan ujian nasional,
tetesan air mata turut menemani di setiap sujudku. Sejak pukul dua dini hari,
aku sengaja ingin lebih dekat lagi memelukNya. Suara pancuran air di kamar
mandi silih berganti, aku bersyukur memiliki keluarga yang taat beribadah.
Hanya dengan doalah segala usaha keras yang telah kita lakukan menjadi tidak
sia-sia, membuka sekat ketidakmungkinan di hati para manusia.
Goresan
pensil yang aku sematkan dalam khusyuknya
ujian nasional pagi ini, tiba tiba terhenti ketika ada salah satu pengawas yang
mendekatiku. Entah apa yang dilihatnya, padahal sedari tadi aku tidak melakukan
kecurangan. Kemudian pengawas itu membisikkan sesuatu kepadaku, “Nanti kalau
sudah selesai langsung dikumpulkan saja ya Janitra” bisiknya kepadaku. Aku
hanya mengangguk kebingungan, mengapa hanya aku saja yang diperintah seperti
itu. Lima belas menit berlalu, semua soal sudah aku kerjakan secara tuntas
sesekali aku koreksi kembali dari awal hingga akhir jawabanku. Kurasa aku sudah
yakin dengan semua jawaban ini, segera aku kumpulkan soal serta lembar jawaban
kepada bapak pengawas tadi. Tiba-tiba semua mata di kelas tertuju padaku,
“tenang anak-anak semuanya, silahkan kerjakan lagi soal ujian nasionalnya tidak
boleh ada yang keluar kelas sebelum bel berbunyi terkecuali Janitra.” Ucap sang
bapak pengawas kepada teman-temanku yang kebingungan melihat begitu cepatnya
aku mengerjakkan soal.
Kakiku
mulai menginjakkan lantai luar kelas, sepertinya ada seseorang yang aku kenal
didepan gerbang sana. Tiba-tiba dari balik tubuhku, dua tangan yang lembut
membelai pundakku dan ia mengucapkan “sabar Janitra, ibu turut berduka cita.”
Hatiku seakan terkena hantaman batu besar mendengar perkataan Bu Indah yang
merupakan kepala sekolah SMA ini. “Sisiiapa yang meninggal ibu..?” aku teriak
tak terkendali dengan tangisan yang sontak meledak dalam keheningan Ujian
Nasional hari ini.
Bu
Indah tak segera menjawab pertanyaanku, ia malah memintaku untuk menemui
seseorang yang berada di depan gerbang sekolah. Seorang yang sebelumnya sudah
melambaikan tangan kepadaku dari kejauhan ketika aku keluar dari kelas.
Langkahku layu tak kuat menahan berita duka ini, gerbang yang biasanya aku
tempuh hanya dengan hitungan detik kini seoalah amat sangat jauh dalam
pandanganku. Bu Indah yang masih memegang serta mengelus-elus pundakku ikut
mengantarkan aku hingga depan gerbang. Pandangan dan pikiranku kosong seakan
kaki ini tak menapak dunia lagi, cobaan apalagi ini Ya Allah bisikku dalam
hati. Pak Ali yang sudah menantiku sedari tadi, memintaku untuk segera menaiki
sepeda motornya. Sebelum aku beranjak pergi, kucium tangan Bu Indah hingga
tanpa sadar tangannya basah karena tetesan air mataku. Ia memelukku dengan
erat, “sabar ya Nitra kamu anak yang kuat, ibu percaya kamu bisa melewati semua
ini.” Ucap Bu Indah dengan suara sedikit serak dan bergetar. Aku hanya
menganggukkan kepala, dan segera ku naiki motor Pak Ali yang sudah menyalakan
mesin motor dan siap untuk menggoncengku.
Selama
perjalanan berbagai pertanyaan menggelayuti pikiran ini, ada apa ini
sebenarnya. Satu kata pun tak terucap dari mulutku, hanya doa yang aku
panjatkan beriringan dengan bunyi derungan mesin sepeda motor. Pak Ali
tiba-tiba memintaku untuk turun, kupandangi sekeliling tempat ini. “Kita mau
ngapain pak ke rumah sakit?” tanyaku kepada Pak Ali. Tanpa menjawab
pertanyaanku Pak Ali langsung menggandeng tanganku dan menuntunku menelusuri
lorong-lorong rumah sakit hingga sampailah pada suatu ruang. Didalam ruangan
tersebut terlihat keempat adik-adikku dan beberapa teman bapak serta tetangga
sekitar rumah. Seketika itu aku langsung berlari untuk mendekati ranjang tidur
yang sedang dikerumungi oleh mereka. Tampak seorang yang sangat aku cintai,
malaikatku. “Bapaakkk.......” suaraku menggelegar disusul dengan tangisanku
yang pecah memenuhi ruangan ini. Aku goyang-goyang kan badan bapak tetapi ia
tidak juga bangun, beberapa orang di sekitarku segera merangkul dan menahan gerakan
tubuhku.
Seminggu
berlalu atas meninggalnya bapak, rumah seakan tak berwarna walau keempat adikku
sudah berulang kali menghiburku. Mereka lebih tegar ketimbang kakaknya ini.
“Assalamu’alaikum...” tok..tokk.. suara ketukan pintu dari depan rumah seolah
memecah keheningan pagi ini. Qorib yang sedang berada di ruang tamu segera
membukakan pintu rumah. Aku masih tak beranjak dari sandaran kasur dengan
mukenah yang masih terpasang sejak shubuh tadi. Tiba-tiba dari balik pintu
kamar ada seseorang yang mengucapakan salam, “Assalamu’alaikum Janitra.”
“Waalaikumsalam” jawabku dengan suara lemas dan serak. Siapa orang itu,
sepertinya aku mengenalnya bisikku dalam hati. Ku pandangi lamat-lamat wajahnya
yang terpoles rapi oleh make up.”Bi Lia!!!” kataku, ia mengangguk dan aku
segera memeluknya dengan air mata mengucur tanpa sadar. Bia Lia adalah adik
kandung bapak yang sejak 10 tahun silam pergi mencari nafkah ke beberapa negara
alias menjadi TKI beserta suaminya. Mereka telah berhasil membangun bisnis di
negara India. Sesekali ia mengirimkan uang kepada keluagaku yang kekurangan
ini.
“Jadi
maksud Bi Lia datang ke Indonesia selain ingin ziarah ke pusara bapak Janitra,
bibi juga bermaksud ingin mengajak dua diantara kalian.” Matanya memandangiku
amat dalam seolah menunggu jawaban dariku.
“Maksud bibi apa?”
tanyaku balik.
“Bapak
berwasiat kepada bibi untuk bisa mengurus kalian hingga jadi orang sukses, tapi
saat ini Bi Lia hanya sanggup membawa dua diantara kalian dahulu” jawab Bi Lia
dengan sangat lembut.
“Jadi
bibi ingin mengambil adik-adik Janitra gitu? Nggak bisa bi! Nitra sanggup kok
ngerawat dan ngejaga adik-adik semua”. Jawabku dengan penuh keyakinan.
“Kamu
sanggup membiayai sekolah adik-adikmu? Memberi mereka makan tiga kali sehari?”
Bi Lia menimpali ucapanku.
Aku
hanya terdiam menyadari jika aku tidak punya pekerjaan yang bisa membiayai
adik-adikku melanjutkan sekolahnya. Akhirnya aku mengiyakan permintaan Bi Lia
untuk mengajak dua adikku paling kecil yaitu Tiar dan Sabil. Sedangkan Qorib
dan Afan tetap tinggal bersamaku.
Bi
Lia telah kembali ke India dengan membawa Sabil dan Tiar, rasanya berat melepas
kedua adikku tersebut. Tapi semua ini demi masa depan mereka, aku yakin itu.
Hari-hari kulalui seperti biasanya, tak ada masalah dengan dengan uang makan
karena banyak tetangga sekitar yang memberiku makan dan uang jajan kepada aku
dan adik-adikku. Ditambah lagi dengan uang jajan yang diberikan Bi Lia yang
teramat besar jumlahnya bagiku.
Pengumuman
kelulusan ujian nasional pun tiba, kami seluruh siswa akhir bersorak gembira
akan kelulusan yang kita raih. Semua anak angkatanku lulus tanpa terkecuali.
Sujud syukur dan tetesan air mata tak henti-hentinya dilakukan oleh
teman-temanku seperjuangan serta guru-guru tercinta.
Hari-hari
pun berlalu setelah pengumuman kelulusan ujian nasional, banyak teman-temanku
yang bertekad ingin melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi tapi tak jarang pula
yang berhenti sampai disini karena mereka memilih untuk bekerja bahkan ada pula
yang langsung menikah. Sesuai dengan rencanaku, di satu tahun ini aku akan
bekerja dan sebagian gajinya akan aku tabung untuk bekalku kuliah di tahun
depan.
Akhir-akhir
ini aku sudah memulai mengajar ngaji anak-anak kecil di masjid Desa Kadukandel.
Suara mereka ketika mengaji membuat aku gemas karena harus mengeja dan
mengulang-ulangi kembali huruf hijaiyah dan ayat alqur’an yang benar seperti
apa. Tetapi aku merasakan kesejukan hati tersendiri ketika ilmuku yang masih
dangkal ini ternyata bisa bermanfaat untuk mereka.
Dalam
lebatnya hujan dan kencangnya angin aku berusaha untuk melawan kemalasanku.
Terpaan angin yang amat kencang seolah menggoyangkan niatku untuk mengajar
ngaji sore ini. Kilatan petir yang berulang kali melintasi mataku seolah tak ingin
menyudahi kelihaiannya kepadaku.
“Assalamu’alaikum..
ustadzah”
“Wa’alaikumsalam
wr.wb” sambil kutolehkan kepalaku kebelakang.
“Mari
bareng saja ustadzah, saya juga mau ke masjid nganterin didi ngaji” ucap
seorang lelaki yang tidak aku kenal. Namun aku tahu anak kecil yang
digoncengnya didepan jok motor, ia didi salah satu murid mengajiku.“Mari
ustadzah, ga usah malu-malu.. hujannya semakin lebat” ajak lelaki tersebut
sambil menggerak-gerakan mantel dibelakang pundaknya.
“Baik,
terima kasih banyak atas tumpangannya.” Segera aku naiki motor besar yang
dikendarainya. Ucapan terima kasih aku haturkan kembali setelah sampai didepan
masjid kepada lelaki tersebut. Proses mengajar ngaji pun berjalan seperti
biasa, hanya saja jumlah murid yang datang lebih sedikit dari hari biasanya.
Mungkin karena hujan lebat yang mengurungkan niat anak-anak untuk pergi mengaji
ke masjid batinku.
Dedaunan bekas hujan kemarin berserakan memenuhi halaman
rumah, membuatku risih ingin menyapunya hingga nampak bersih seperti biasanya,
seperti saat ibu masih ada. Afan dan Qorib jarang pulang ke rumah, mereka lebih
sering menghabiskan waktunya di pondok milik pemuka agama desa kami. Mereka
dapat belajar agama dan makan gratis disana serta dapat menambah teman dari
berbagai daerah.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” jawabku yang masih memegang gagang sapu
lidi dengan keringat yang bercururan. Aku tersentak kaget melihat lelaki yang
pernah menggoncengku kemarin tiba-tiba berada dihadapan mataku saat ini. Bukan
lelaki itu saja yang membuatku mengerenyitkan kening, namun orang-orang yang
berada dibelakangnya.
“Nuhun,
aya naon iye?” tanyaku kepada lelaki tersebut.
“Abdi
nuju ngalamar anjeun neng”
Keheninganpun tiba-tiba datang menyelimuti ruang tamu
pada sore hari itu. Aku tak percaya ada seorang lelaki yang belum pernah aku
kenal datang melamar gadis yatim piatu seperti aku ini. Hatiku berdebar tak
karuan ketika lelaki itu mulai membuka mulutnya dan mengawali pembicaraan yang
amat serius dalam sejarah hidupku. “Perkenalkan Janitra, nama saya Faaz
Ramdhan. Mungkin sekarang hatimu merasa kacau tak menentu, mengapa tiba-tiba
ada seorang lelaki yang belum kau kenal datang melamarmu.” Ucap lelaki itu
dengan penuh ketenangan.“Mengapa secepat ini?, kau belum mengetahui sifatku dan
aku pula belum sama sekali mengenalmu bahkan namamu saja aku baru tahu.”
Jawabku kepadanya. “Ssstt.. kau akan mengetahui semua jawabannya dalam surat
ini, silahkan kamu baca surat ini. Aku akan selalu siap menanti jawaban darimu
Janitra” sambil memberikan amplop berisi surat kepadaku.
Suara adzan maghrib seolah memecah perbincangan dalam
ruang tamu ini. Lelaki beserta rombongan keluarganya bergegas pergi
meninggalkan rumahku untuk menunaikan kewajiban sholat magrib. Aku yang hanya
terdiam setelah menerima surat dari tangan lelaki tersebut seolah tak percaya
akan kejadian ini.
“Janitra”
panggil seorang ibu-ibu kepadaku. Tiba-tiba memecahkan lamunan yang sedang
menghinggapi jiwaku.
“Iya
bu” kakiku langsung melangkah mendekati ibu tersebut, dari wajahnya aku sudah
menebak pasti ibu ini adalah orang tua Faaz Ramdhan bisikku dalam hati.
“Faaz
anak yang baik nak, ia amat sholeh dan sudah pantas menjadi imam keluarga saat
ini.” Ucap ibu yang sangat dalam memandangi bulatan hitam mataku seakan ingin
memindahkan sesuatu dari dalam bola matanya kepadaku. Aku hanya tersenyum
menganggukan kepala dan mencium mesra kedua telapak tangan ibu tersebut.
Hari pernikahan pun berlangsung, hari yang amat sakral
bagiku. Dihari ini pula aku melaksanakan wasiat ibu lewat surat yang sengaja ia
titipkan kepada Faaz sebelum ajal menjemputnya. Ternyata ibu sudah sejak lama
menceritakan tentangku kepada lelaki
yang saat ini sedang duduk bersanding denganku. Faaz adalah salah satu murid
mengaji ibu ketika di masjid, empat tahun sudah ia menamatkan kuliahnya dan
sekarang ia sedang bekerja di suatu perusahaan ternama di Jakarta. Aku tak
sanggup menolak keinginan ibu, biarlah kebahagian lajangku terhempas sampai
disini. Semua ini demi membahagiakan ibu, setidaknya aku bisa membuatnya
tersenyum walau aku sendiri belum tentu tersenyum atas takdir ini.
Lima
bulan berlalu. Faaz membawaku ke Jakarta, perlu waktu yang lumayan lama untukku
beradaptasi dengan kota metropolitan ini. Tak lupa Qorib dan Afan yang juga
turut hijrah ke Jakarta tetapi mereka berdua di dipondokkan oleh Faaz ke suatu
pondok tahfidz Al-Qur’an di daerah Tangerang. Hari demi hari aku habiskan
dengan hanya mengurus suamiku yang sangat mencintai dan menyayangiku sepenuh
hati. Kemesrahan kami seolah seperti anak muda yang baru pertama kali pacaran,
pantas saja ibu sudah jatuh hati kepada Faaz sejak mengajarkannya mengaji di
masjid. Siraman kesetiaan dan perhatian Faaz yang diberikan disetiap hembusan
nafasnya untukku, semakin membuat seorang Janitra yakin jika hanya Faaz lah
cinta sejatinya.
Aku
mulai merasa bosan hidup seorang diri tanpa rutinitas berarti di rumah yang
lumayan luas ini, aku ingin membuka jendela baru dalam kehidupanku sekarang.
“Aa,
aku ingin kuliah” ucapku kepada Faaz.
“Kuliah?,
tidak sayang, biarlah aa saja yang lelah mencari nafkah untuk keluarga kita”
“Tetttetetapi,
aku bosan a dirumah saja”
Kemudian Faaz mendekatiku dan memegang perutku yang sudah
nampak membesar. “Seorang wanita tidak dituntut untuk bekerja, toh aa yakin
setelah kamu lulus kuliah pasti kamu meminta izin aa untuk lanjut bekerja.” Aku
hanya tertunduk setelah Faaz berkata seperti itu. Alasan klasik!!! Wanita tidak
diperbolehkan untuk bekerja dalam batinku.
Tak terasa anakku kini telah berusia lima tahun. Selama
itu juga aku telah berhasil bekerja tanpa sepengetahuan suamiku yaitu sebagai
editor pada suatu redaksi majalah islami. Aku sangat menikmati pekerjaan ini,
bukan uang yang kucari namun pengalaman serta ilmu yang amat berharga bagiku.
Namun hari ini semua rahasia itu hancur tak bersisa, suamiku Faaz telah
mengetahui jika aku bekerja sebagai editor majalah islami. Ia memarahiku
habis-habisan, menunjukkan bagian halaman majalah yang tertulis jelas namaku.
“Sudah
dibilangin gausah kerja! Istri itu cukup
merawat anak dan suami!” bentak Faaz didepan wajahku. Tangannya seakan ingin
menamparku, namun ia tak sanggup dan menurunkan tangannya kembali. Wajahnya
seakan teringat suatu wasiat ibu, agar dapat membahagiakanku dan jangan sampai
menyakiti jiwa dan perasaanku.
“Aku
memiliki hak a sebagai wanita! Seorang istri tak melulu harus berdiam dirumah!
Aku bekerja tapi aku tak lupa melaksanakan kewajibanku sebagai seorang ibu!”
jawabku dengan tegas.
“Ahhh!!!
Terserah kamu! Selalu melawan dengan suami!” bentak Faaz sambil menutup pintu
kamar dengan amat keras.
Setelah kejadian itu, aku dan anakku pergi meninggalkan
rumah menuju tempat tinggal salah satu sahabatku. Tiga hari sudah aku tak
memberi kabar kepada suamiku. Tiba-tiba ada panggilan masuk dari aa, ku terima
telfon tersebut dengan suara bergetar, “Assalamu’alaikum”. “Janitra, kamu dimana
sayang? Pulanglah ke rumah, ada yang harus diselesaikan.” Ucap suamiku. Selang
dua detik telfon pun langsung diputus olehnya. Bergegas aku dan anakku pulang
kerumah setelah berpamitan dengan sahabatku.
Sesampainya di rumah, aku sangat kaget melihat semua baju
dan barang-barang kami berada diluar rumah. Beberapa polisi mondar mandir tak
karuan. Segera kutemui suamiku yang sedang berbicara amat serius dengan
seseorang. “Ada apa ini a?” tanyaku dengan tangan menggendong anak yang tak
henti-hentinya menangis sejak tadi. “Maaf istriku, kita harus pindah dari rumah
ini karena kegagalan saham yang aku tanam pada suatu perusahaan dan rumah ini..
rumah ini.. aku jadikan jaminannya.” Ucap suamiku dengan nada menyesal. “Berapa
banyak uang yang diperlukan untuk mengembalikan saham itu a?” tanyaku. “Sekitar
400 juta sayangku.” “Aku sanggup melunasi semuanya a” jawabku dengan penuh
keyakinan.
Kini, suamiku telah mengerti akan arti emansipasi wanita,
memahami betul bahwa wanita pula memiliki hak yang sederajat dengan lelaki.
Setelah aku memberikan seluruh uang hasil jerih payahku sebagai editor dan
penulis buku selama lima tahun terakhir ini untuk melunasi hutang suami
terhadap perusahaan. Dalam buku-buku yang telah aku terbitkan tak satu pun
tertulis namaku, hanya satu huruf yaitu “J” yang amat membingungkan para
pembaca. Semua ini demi merahasiakannya kepada suamiku. Namun saat ini aku
tidak hidup dengan belenggu harus merahasiakan pekerjaanku lagi dari suami.
Sekarang dia sangat mendukung karir dan pekerjaanku. Aku berhasil menggapai
impian-impianku yang telah lama bergelantungan, seandainya bapak masih ada
mungkin ia akan tersenyum bahagia melihat kekuatanku sebagai perempuan dalam
melewati episode kehidupan ini.
Pernah dipublikasi : http://www.dakwatuna.com/2015/06/08/69812/perjuangan-hidup-janitra/
0 komentar:
Posting Komentar