REFORMASI BUDAYA POLITIK
Kegaduhan politik sudah mulai berani
menampakkan bayangan hitamnya sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo,
suatu penyakit yang sangat rentan menjangkit negara bersemboyan bhineka tunggal
ika ini. Hampir setiap hari ada saja pemberitaan mengenai keretakan suatu
partai politik (parpol). Keadaan seperti ini sudah pasti akan mengganggu proses
pembangunan dan kemajuan bangsa di berbagai bidang. Dalam satu wadah organisasi
politik saja sudah tidak bisa menjaga kestabilan, bagaimana ceritanya
pemerintah bisa dengan gagah mengembangkan layar pemerintahan dengan baik?.
Menurut UU NO.2 Tahun 2008, partai
politik adalah oganisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pengertian ini harus menjadi pedoman dasar
setiap parpol, demi terlaksananya program-program yang telah mereka canangkan.
Entah virus jenis apa yang sangat cepat
menyerang kesolidan beberapa parpol sehingga menimbulkan kegaduhan politik dari
skala internal parpol hingga berimbas pada tingkat pemerintahan. Munculnya dua
kubu dalam satu parpol sudah terlalu sering menghiasi halaman di berbagai media
masa, setiap kubu sama-sama menginginkan tercapainya kemauan mereka.
Seakan-akan lembaga politik skala nasional ini alias parpol lupa akan fungsinya
sebagai sarana pengatur konflik antara pemerintah dan masyarakat. Malah mereka
sendirilah yang menciptakan konflik dalam tubuh parpol tersebut. Sepertinya
masyarakat harus lebih bersabar menghadapi kondisi politik yang hingga saat ini
belum juga menemukan garis finish-nya.
Seperti yang diungkapkan Azyumardi Azra : “budaya politik demokratis tidak sepenuhnya
terwujud dalam parpol. Parpol dikuasai oligarki yang tidak memberikan ruang
bagi dialog dan akomodasi terhadap pendapat yang berbeda. Kepemimpinan parpol
sejak dari tingkat pusat sampai daerah cenderung kian nepotistik—menciptakan
"dinasti" pemerintahan daerah dan keanggotaan legislatif dengan
memanfaatkan pemilu”.
Skenario perpolitikan yang seperti ini tidak bisa dibiarkan
terus menerus menambah episode barunya setiap hari, perlu adanya suatu reformasi
lembaga politik yang wajib dibarengi dengan reformasi budaya politik. Jika
diamati, budaya perpolitikan parpol di Indonesia masih menjadikan
otoritarianisme dan nepotisme sebagai topeng manis yang masih dapat bertahan
menyembunyikan kejelekan wajahnya hingga saat ini.
Mengamati
kondisi beberapa parpol saat ini, jelas tidak bisa dibiarkan terus menerus
bergulir. Indonesia akan kehilangan bentuk utuh demokrasinya serta pemerintahan
yang tidak berjalan secara efektif. Oleh karenanya parpol harus segera
memperbaiki kelembagaannya. Keseimbangan suatu parpol akan terus bergoyang jika
tidak adanya reformasi budaya politik lama menuju suatu budaya politik dialog,
toleransi, akomodasi. Selain itu suatu parpol juga harus membenahi anggotanya,
perlu adanya suatu rekrutmen anggota parpol yang tidak mengedepankan sifat
nepotisme dan oportunisme dari parpol tersebut. Pengkaderan anggota baru parpol
mestinya benar-benar diambil dari perwakilan tiap-tiap daerah supaya
aspirasi seluruh elemen masyarakat
daerah bisa tersalurkan. PR juga untuk parpol yang masih menomorsatukan
pragmatisme politik, sifat seperti itu harus segera ditinggalkan supaya orientasi
pada kebajikan publik dapat tercapai dengan baik. Dengan begitu, parpol dapat
menampilkan suatu bentuk utuh organisasi level nasional yang benar-benar dapat
memegang ideologi serta orientasi politik kerakyatan dan kebajikan publik yang
solid.
0 komentar:
Posting Komentar