Rabu, 13 Mei 2015

REFORMASI BUDAYA POLITIK



    Kegaduhan politik sudah mulai berani menampakkan bayangan hitamnya sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, suatu penyakit yang sangat rentan menjangkit negara bersemboyan bhineka tunggal ika ini. Hampir setiap hari ada saja pemberitaan mengenai keretakan suatu partai politik (parpol). Keadaan seperti ini sudah pasti akan mengganggu proses pembangunan dan kemajuan bangsa di berbagai bidang. Dalam satu wadah organisasi politik saja sudah tidak bisa menjaga kestabilan, bagaimana ceritanya pemerintah bisa dengan gagah mengembangkan layar pemerintahan dengan baik?.
            Menurut UU NO.2 Tahun 2008, partai politik adalah oganisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pengertian ini harus menjadi pedoman dasar setiap parpol, demi terlaksananya program-program yang telah mereka canangkan.
            Entah virus jenis apa yang sangat cepat menyerang kesolidan beberapa parpol sehingga menimbulkan kegaduhan politik dari skala internal parpol hingga berimbas pada tingkat pemerintahan. Munculnya dua kubu dalam satu parpol sudah terlalu sering menghiasi halaman di berbagai media masa, setiap kubu sama-sama menginginkan tercapainya kemauan mereka. Seakan-akan lembaga politik skala nasional ini alias parpol lupa akan fungsinya sebagai sarana pengatur konflik antara pemerintah dan masyarakat. Malah mereka sendirilah yang menciptakan konflik dalam tubuh parpol tersebut. Sepertinya masyarakat harus lebih bersabar menghadapi kondisi politik yang hingga saat ini belum juga menemukan garis finish-nya.
  Seperti yang diungkapkan Azyumardi Azra :  “budaya politik demokratis tidak sepenuhnya terwujud dalam parpol. Parpol dikuasai oligarki yang tidak memberikan ruang bagi dialog dan akomodasi terhadap pendapat yang berbeda. Kepemimpinan parpol sejak dari tingkat pusat sampai daerah cenderung kian nepotistik—menciptakan "dinasti" pemerintahan daerah dan keanggotaan legislatif dengan memanfaatkan pemilu”.
Skenario perpolitikan yang seperti ini tidak bisa dibiarkan terus menerus menambah episode barunya setiap hari, perlu adanya suatu reformasi lembaga politik yang wajib dibarengi dengan reformasi budaya politik. Jika diamati, budaya perpolitikan parpol di Indonesia masih menjadikan otoritarianisme dan nepotisme sebagai topeng manis yang masih dapat bertahan menyembunyikan kejelekan wajahnya hingga saat ini.
Mengamati kondisi beberapa parpol saat ini, jelas tidak bisa dibiarkan terus menerus bergulir. Indonesia akan kehilangan bentuk utuh demokrasinya serta pemerintahan yang tidak berjalan secara efektif. Oleh karenanya parpol harus segera memperbaiki kelembagaannya. Keseimbangan suatu parpol akan terus bergoyang jika tidak adanya reformasi budaya politik lama menuju suatu budaya politik dialog, toleransi, akomodasi. Selain itu suatu parpol juga harus membenahi anggotanya, perlu adanya suatu rekrutmen anggota parpol yang tidak mengedepankan sifat nepotisme dan oportunisme dari parpol tersebut. Pengkaderan anggota baru parpol mestinya benar-benar diambil dari perwakilan tiap-tiap daerah supaya aspirasi  seluruh elemen masyarakat daerah bisa tersalurkan. PR juga untuk parpol yang masih menomorsatukan pragmatisme politik, sifat seperti itu harus segera ditinggalkan supaya orientasi pada kebajikan publik dapat tercapai dengan baik. Dengan begitu, parpol dapat menampilkan suatu bentuk utuh organisasi level nasional yang benar-benar dapat memegang ideologi serta orientasi politik kerakyatan dan kebajikan publik yang solid.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Bingikisan Pengalaman